Our Wedding Day : 1

Saya dan suami kebetulan sama-sama lahir dari keluarga Jawa. Jadi saat penentuan tema pernikahan, kami gak susah. Kepengennya adat Jawa. Saya pribadi memang lebih suka yang sederhana, dengan adat istiadat dan kembali lagi ke tempo dulu. Tapi karena di Bali agak susah untuk cari yang serba Jawa, dengan berat hati yang tadinya mau serba Jawa, ya terpaksa harus dicampur...
 
Dari makanan, awalnya makanan serba Jawa. Mulai kue pembuka, makanan utama, sampai penutup serba Jawa seperti klepon, tetel, gudeg, pecel pincuk, jamu, degan, dll... Tapiiiiii, berhubung ada beberapa saudara yang bilang "Di Malang ada lho yg manten serba Jawa gitu, yang datang malah kecewa, katanya makanannya kaya' di rumahan.Biasa."
Hmmmmm... Akhirnya saya dan orang tua membatalkan niat makanan sehat ala Jawa tersebut.
Yah.. dengan berat hati, makanan akhirnya serba nasional. :)

Pilih-pilih tempat ternyata agak ribet.. Mulai dari hotel, resto, masjid, lapangan, susaaaaah dpt yang cocok.
Setelah survey berbulan-bulan, akhirnya dapet yang 'klik'! Desa Budaya Kertalangu. Sekalian untuk akad nikah di pagi hari bisa, sore untuk acara Temu Manten, dan malamnya resepsi.
 Mungkin banyak yang nanya, "Kenapa gak akad nikah di rumah?"
Jawabannya adalah "Kami ga mau ribet, sodara-sodara..."-----terima kasih------


sesuai dengan kepengennya, alami.. :)


Untuk perias, agak susah carinya. Karena kami terlalu mepet dengan hari H. Biasanya cari perias 6-12 bulan sebelumnya. Tapi kami, 3 bulan sebelumnya. Tapi Tuhan sayang saya, diberilah saya perias manten dari Jogja, Ibu Sulthon. Menurut saudara-saudara saya, beliau terkenal pemilih kalo merias. Namanya rejeki, beliau langsung mau ngerias saya. Padahal belum lihat bentuk dan rupa saya. Beberapa hari kemudian, kami ketemu, beliau menyarankan saya untuk payas ageng Jogja. Langsung panik. Soalnya, beberapa waktu lalu, ada saudara menikah dengan payas ageng Jogja juga dan hasilnya "PARAH"
Bu Sulthon ngikik.. "Ya itu kan tergantung perias dan mantennya juga Jeng..Kalau manten putri nya ga cocok, ngapain dipaksa payas Jogja.."
Setelah mikir dua menit, saya langsung setuju untuk Jogja-an.

ini loh payas ageng Jogja


Kemudian baju, keeepeengennya siy pake' dodotan. Nah, berhubung saat itu berat badan saya 38 kilo, dan terlihat terlalu langsing, hehe, perias menyarankan saya pakai kebaya saja. Baiklah... Saya lagi nurut saja. Kata Ibu saya, pengantin itu jangan banyak protes biar ayu pas hari H. Mari kita buktikan kebenaran ceritanya.. Hehehehe...

Eniwei, urusan dekorasi dan bunga..
Pertanyaan Ibu "Kamu mau warna apa?"
Untuk dekor, saya suka yang sederhana dan alami. Untuk warna bunga, saya pilih putih dan daun-daunan... Rasanya cantik dan alami...
Nah, ini dia yang agaaaaak bikin puyeng.. He he he.. Tiap ketemu ama ibu di sudut rumah manapun, pasti ngebahas bungaaaaaa teruss..
Untungnya untuk urusan dekorasi dan bunga, kami dibantu sahabat-sahabat terbaik orang tua saya.. Om Dadu, Om Dandung dan Mas Anom.

Sedangkan untuk entertainment.. he he he.. Saya ngublek-ngublek Bali cari gamelan Jawa, ternyata ada di ISI, kampus saya dulu.
Kalau band, saya memang request dari awal, POKOKNYA JAZZ! White band... Grand Piano putih, Bass putih, drum putih, cuma saxophone aja yang ga putih.. Hehehehe..
Tuhan memang sayang saya. :) 


Perlu diketahui, untuk pernikahan saya dan suami, memang hanya diurus Ibu, Bapak dan saya saja. Hanya bertiga.
Untuk undangan pun sama.. Yang mbungkus saya, yang nulis nama juga saya, yang ngirim undangan juga saya (nama dan alamat dapat dari Bude dan Bulek di Malang). Jadi kalau ada beberapa pihak yang merasa gak terima undangan, maaf... Bukan maksud hati ga ngundang, tapi tenaga dan ingatan saya, Bapak dan Ibu saat itu benar-benar terbatas. Mungkin undangannya nyasar, mungkin kelewat, mungkin.. mungkin.. mungkin...
Mungkinn lanjutannya bisa dilanjutken nanti di posting berikutnya.. :)




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: